Senin, 18 April 2011

MENILAI ETIKA DAN OBJEKTIFITAS HASIL SURVEI

Hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa pekan lalu menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono unggul dibanding dua pasangan calon lainnya. Jajak pendapat LSI digelar 25 - 30 Mei dengan melibatkan 2.999 responden dengan margin of error 1,8 persen. Hasilnya, 70 persen responden memilih pasangan SBY - Boediono. Sementara pasangan Megawati - Prabowo dipilih 18 persen dan pasangan Jusuf Kalla - Wiranto hanya dipilih 7 persen responden (www.tempointeraktif.com).
                Pasca pemberitaan hasil survei yang dilansir oleh LSI bahwa SBY-Boediono diprediksi menang satu putaran dalam pemilu presiden mendatang, berbagai pro dan kontra terhadap hasil survei itu pun muncul. Wajah cerah dan senyum penuh percaya diri terpancar dari para pendukung SBY Boediono. Sebaliknya bagi pendukung JK Wiranto dan Mega Prabowo itu bukan kabar yang baik. Bahkan ada tudingan LSI sebagai penyelenggara survei tidak berlaku independen. Artinya survei yang dilakukan berpihak dan menguntungkan salah satu pihak.
            Pertarungan pilpres 2009 memasuki babak baru. Antara yang pro dan kontra hasil survei pun beradu argumentasi. Di pentas diskusi dan ajang debat tak lepas dari topik bahasan ini. Di media cetak pun saling lempar opini. Bahkan di media elektronik atau televisi, acara debat dihadiri oleh masing-masing pihak yang pro dan kontra. Dan sebagaimana seperti debat lainnya, semuanya kukuh dengan pendapatnya masing-masing. Bagi yang tak berkepentingan langsung, tontonan seperti itu hanya bakal menambah pusing. Bagaimana seharusnya kita menyikapi polemik ini?

Fungsi dan aturan main lembaga survei
            Ada baiknya kita telaah dari awal mengenai fungsi dan aturan main dari sebuah lembaga riset politik. Survei adalah satu paket dengan demokrasi. Bagi Negara yang menganut sistem demokrasi atau sedang dalam transisi menuju demokrasi seperti Indonesia, maka survei menjadi kebutuhan primer bagi elit politik. Fungsi survei itu sendiri adalah untuk mewakili opini publik. Terlalu riskan jika politik dan demokrasi hanya dipercayakan kepada segelintir politisi, diombang-ambingkan untuk kepentingan mereka saja. Disinilah lembaga survei mengambil alih perannya untuk mewakili opini publik.
            Mengenai aturan mainnya, The World Association for Public Opinion Research (WAPOR) –sebuah lembaga internasional yang mengatur tentang riset politik, memiliki kode etik yang berjudul “WAPOR Code of Professional Ethics and Practices”. Kode etik ini antara lain mengatur bahwa laporan hasil akhir survei harus mencantumkan siapa yang membiayai, lembaga yang melaksanakan, tujuan survei, metode, termasuk teknik menentukan responden (sampel), jumlah sampel dan populasinya.
            Yang perlu digarisbawahi dalam aturan tersebut ialah bahwa lembaga survei wajib untuk menyebutkan siapa yang mendanai survei, sehingga publik bisa menilai apakah hasilnya independen atau tidak. Namun, sudah barang tentu di Indonesia tidak ada satupun lembaga survei yang bisa bersikap independen. Sebagai contoh, biaya survei untuk pemilihan presiden sangatlah besar, antara 500 juta sampai diatas 1 milyar. Sudah pasti tidak ada satu lembaga survei pun yang mampu atau mau membuang dana sebesar itu untuk sebuah survei independen. Di Indonesia, hal ini diperparah dengan banyaknya hasil survei yang dirilis tanpa menyebutkan siapa sang penyandang dana. Akibatnya muncul persepsi beragam dimasyarakat, pro dan kontra dalam menilai hasil survei, satu putaran versus dua putaran. Politik pun semakin bias, complicated.

Mencermati hasil survei LSI
            Ada beberapa hal yang perlu dicermati pada hasil survei yang dirilis oleh LSI. Pertama, menyangkut penggalangan opini, atau dalam dunia politik populer disebut dengan bandwagon effect. Apakah ini cara Partai Demokrat dan tim sukses SBY untuk membentuk opini masyarakat bahwa seolah-olah SBY akan menang telak? Dengan hasil survei yang memenangkan pasangan SBY Boediono, maka mengkondisikan seakan-akan SBY Boediono sudah pasti memenangi pilpres. Bagi pemilih yang masih ragu-ragu atau belum mempunyai pilihan ditargetkan akan ikut memilih SBY Boediono. Secara psikologis ada kondisi dimana setiap individu ingin masuk dalam barisan pemenang. Buat apa memilih calon presiden yang tidak bakal menang?
            Bagi masyarakat terdidik dan kritis, bandwagon effect atau penggalangan opini relatif tidak berpengaruh. Golongan masyarakat ini terkonsentrasi di perkotaan dan lingkungan terdidik lainnya. Jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan golongan masyarakat awam. Sehingga kemungkinan keberhasilan penggalangan opini melalui hasil survei cukup besar. Meskipun ini ditampik oleh penyelenggara survei atau pihak yang diuntungkan oleh hasil survei LSI tadi, dikarenakan menurut mereka tidak ada relevansi yang menunjukkan kemenangan sebuah pemilu hanya karena hasil survei. Konon bandwagon effect pernah terjadi di pemilu Amerika Serikat pada tahun 1980 saat Ronald Reagan memenangi pemilu. Ketika itu, jaringan Televisi NBC telah mengumumkan kemenangan Reagan dari hasil exit poll (survei terhadap orang yang baru saja memilih) di wilayah timur Amerika. Padahal di wilayah barat karena perbedaan waktu, pemilihan baru saja dimulai. Akhirnya orang-orang di wilayah barat pun banyak yang memilih Ronald Reagan.
            Kedua, hasil survei LSI tadi malah dapat menjadi boomerang bagi SBY, menciptakan underdog effect, yang justru membuat sang Goliath kalah. Arogansi dan optimisme berlebihan dari pihak yang merasa telah menang terkadang dapat menyebabkan sang rival yang menuai hasilnya. Apalagi ditengah masyarakat yang dramatik melankolistik seperti di Indonesia. SBY sendiri di pilpres tahun 2004 lalu disadari atau tidak juga kecipratan untung dari underdog effect ini. SBY ketika itu seakan-akan menjadi pihak yang dizolimi oleh pemerintahan Megawati. Dihina sebagai jenderal yang kekanak-kanakan, untuk kemudian “dikeluarkan” dari kabinet. Tak dinyana, dua hal itu turut andil dalam membentuk citra positif SBY.
            Ketiga dengan alasan penghematan anggaran, hasil survei LSI ini kemudian dijadikan dasar bagi sebagian elit politik yang pro SBY-Boediono untuk melakukan gerakan pilpres satu putaran. Sungguh suatu argumen yang lemah, naif dan bertendensi membodohi rakyat. Bagaimana tidak? Nominal 4 triliun yang dianggarkan untuk pilpres putaran kedua masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan besaran dana yang telah dikeluarkan untuk pelaksanaan “pesta demokrasi” dari awal masa reformasi. Pemilihan kepala desa, bupati, legislatif, gubernur dan pilpres tahun 2004 lalu tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Walaupun tingkat elektoral dan partisipasi masyarakat rendah, kesemua “pesta pora” itu tetap diadakan tanpa peduli meski harus berhutang sana-sini. Tiba-tiba wacana menghemat anggaran muncul di pilpres 2009. Menggelikan sekaligus menyedihkan.   

Memberitakan survei
            Bagaimana seharusnya media massa memberitakan survei? Article 19 (Article Nineteen) –organsiasi anti penyensoran yang berkantor di London, Inggris membuat pedoman bagaimana secara teknis media seharusnya menulis jajak pendapat. Article 19 mendorong dalam pemberitaan jajak pendapat, media harus berupaya memberi laporan secara adil dan terutama menulis informasi apa saja tentang jajak pendapat tersebut agar publik memahami pentingnya atau kepentingan di balik jajak pendapat tersebut.
            Stasiun televisi berita BBC di Inggris dalam memberitakan hasil survei selalu mengingatkan kepada para pemirsa dan pendengarnya bahwa survei adalah gambaran selama jangka waktu pengambilan data di lapangan, bukan merupakan prediksi di saat hari pemilihan. Barrack Obama ketika menjadi kandidat capres juga menyewa Gallup –sebuah lembaga survei ternama di Amerika, namun hasilnya tidak pernah menjadi konsumsi publik.
            Di negeri ini mungkin sudah saatnya bagi lembaga survei untuk tidak lagi mempublikasikan hasil survei mereka keranah publik. Sebagai sebuah think tank yang diisi oleh kalangan intelek dan berorientasi profit, wajar jika lembaga-lembaga riset politik seperti LSI, LP3ES, LRI, PUSDEHAM, LSN, Indo Barometer dan sebagainya menerima pesanan survei untuk politisi atau partai politik. Hal itu tak mengapa sepanjang hasil survei bukan untuk dipublikasikan, namun hanya digunakan untuk menyusun rencana strategi pemenangan pemilihan. Lagipula, kredibilitas sebuah lembaga survei dapat terjaga tanpa harus beriklan atau merilis hasil surveinya di media massa bukan?


30 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar