Senin, 18 April 2011

FENOMENA LEBARAN BEDA, PATUTKAH DIPERDEBATKAN?


Untuk kesekian kalinya, umat Islam disuguhi fenomena seputar penentuan hari raya lebaran. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, masing-masing mengklaim tanggal yang berbeda. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin, di awal bulan Ramadhan telah menetapkan tanggal 12 oktober sebagai hari raya lebaran. Hal itu berdasarkan metode hisab hakiki wujudul hilal atau perhitungan terbitnya bulan muda, yang digunakan Muhammadiyah untuk menetapkan tanggal 1 Syawal.
Muhammadiyah memang selama ini selalu berpedoman dengan ilmu falak (astronomi) dalam membuat kalender Islam. Dengan ilmu falak itu pula kita dapat menghitung hari raya lebaran untuk seratus tahun kedepan, menentukan dengan pasti kapan komet Halley akan terlihat kembali, menentukan jam, menit dan detik terjadinya gerhana bulan, bahkan interval waktu terjadinya gerhana bulan pun dapat diprediksi. Pokoknya, dengan ilmu falak semua fenomena astronomi yang terjadi dapat diketahui jauh-jauh hari sebelumnya.
            Lain halnya dengan Nahdlatul Ulama (NU). Berpegang pada prinsip kehati-hatian, ormas Islam terbesar ini cenderung untuk mempertahankan tradisi zaman Nabi dengan melihat posisi bulan muda dengan mata telanjang (rukyatul hilal bil fikli), sebagai pedoman dalam menetapkan hari raya Lebaran.
            Masyarakat pun kembali dibuat bingung. Ikut yang mana, NU atau Muhammadiyah? Ormas manakah yang lebih baik? Tanggal 12 atau 13?
Sungguh sangat disayangkan jika obrolan yang muncul diwarung-warung kopi, dipasar atau dikampus sekalipun - yang notabene tempat berkumpulnya calon intelek masa depan, adalah pertanyaan-pertanyaan diatas.
NU dan Muhammadiyah bukanlah seteru. Metode konvensional dengan melihat langsung posisi bulan (hilal) atau dengan hitungan matematis, kedua-duanya diperbolehkan dalam Islam. Tidak ada metode yang paling benar, dan tidak ada Ormas yang lebih baik. Kedua Ormas (NU dan Muhammadiyah) dibentuk dengan kesadaran para pendirinya untuk membangun dan memajukan umat Islam di Indonesia. Masing-masing memiliki visi yang sama, hanya berbeda dalam misi dan implementasi.
Menyikapi hal itu, umat Islam hendaknya sadar dan segera melepaskan diri dari dikotomi NU vs Muhammadiyah. Perbedaan dalam memahami Islam sudah terjadi sejak jaman Khalifah sepeninggalnya Rasulullah. Umat terpecah kedalam beberapa golongan. Ada Syiah, Sunni, Khawaridj, dan lain sebagainya. Perpecahan umat itu sendiri sudah jauh hari diprediksi oleh Nabi, namun betapapun dalamnya perbedaan hendaknya tetap berpegang teguh pada satu prinsip yang sama, yaitu Tuhan Allah yang Esa, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, Al-Qur’an sebagai kitab pedoman dan Ka’bah sebagai kiblat. Keempat prinsip itulah yang tetap mempersatukan Islam hingga kapanpun.
Disadari memang saat ini umat Islam telah terbagi ke dalam beberapa golongan. Namun hendaknya umat dapat bersikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang muncul, dikarenakan tidak ada satu golongan pun yang dapat mengklaim dirinya paling benar. Dengan adanya toleransi, konflik horizontal sesama umat Islam dapat dihindari.
Hal inilah yang hendaknya disadari umat Islam Indonesia dalam menyikapi fenomena perbedaan hari lebaran. Tetapi, jika umat telah sadar dan mengerti makna ‘perbedaan’ dalam Islam, lalu kenapa kebingungan tetap saja terjadi?
Masyarakat dapat diibaratkan sebagai ma’mum yang sudah tentu memerlukan seorang imam ketika sholat. Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat juga memerlukan pemimpin yang dapat dijadikan panutan dalam bersikap dan bertindak. Celakanya, umat Islam di Indonesia tampaknya tidak mendapatkan ‘imam’ yang dapat dijadikan panutan. Pemerintah yang seharusnya dapat menjadi barometer justru ikut-ikutan pusing dengan adanya perbedaan penetapan hari lebaran. Karena itulah kemudian pemerintah berinisiatif untuk mempertemukan pimpinan kedua ormas, berkompromi agar dapat ‘menyeragamkan’ tanggal keramat tersebut. Hasilnya nihil. Masing-masing tetap pada pendiriannya.
Herannya, kok pemerintah seperti ngotot untuk menyeragamkan perbedaan? Bukankah inilah demokrasi yang kita inginkan, cerminan bahwa rakyat sudah mulai kritis, berani berbeda pendapat dengan yang lain. Kenapa harus diseragamkan? Rakyat sudah jenuh dengan keseragaman, karena selama masa orde baru kita sudah ‘seragam’ dalam segala hal, mulai dari ideologi, pilihan partai politik, hingga pada merk beras pun kita harus seragam, made in Vietnam. 
Integritas pemerintah kembali dipertanyakan, diuji dengan hal yang sebenarnya sepele. Jika dilihat dari perspektif demokrasi, perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri justru akan menjadi pembelajaran positif bagi perkembangan demokrasi, khususnya dalam komunitas umat Islam itu sendiri. Umat dituntut agar dapat mengembangkan sikap toleransi dengan sesama muslim yang memiliki pandangan berbeda.
Disinilah letak peran pemerintah sesungguhnya, bukan sebagai penyeragam perbedaan, namun sebagai pihak yang dapat mengajari rakyatnya untuk menghargai adanya perbedaan. 
            Oleh karena itu, masyarakat khususnya umat Islam rasanya tidak perlu memperdebatkan lagi perbedaan penetapan tanggal hari raya Idul Fitri tahun ini dan ditahun-tahun selanjutnya. Masih banyak persoalan bangsa yang lebih krusial ketimbang memperdebatkan hal ihwal peribadatan yang sebenarnya tidak terlalu prinsip.
Tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tiap tahunnya meningkat, perbaikan sarana dan prasarana fasilitas pendidikan dan kesehatan, semua itu seharusnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar dari tiap elemen masyarakat.
            Banyak persoalan bangsa yang belum terselesaikan dan mestinya menjadi prioritas bagi pemerintah.  Ketimbang mengurusi ‘tata cara’ hubungan vertikal dengan Sang Khalik – yang memang bukan bidangnya, lebih baik Pemerintah  fokus pada aspek horizontal, membangun sektor riil perekonomian rakyat, menepati janji-janji kampanye 2004 lalu yang belum terwujud hingga sekarang. 

25 Februari 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar