Kamis, 21 April 2011

4 Kasta PNS


ada 4 kasta PNS
1. PNS sudra. pns yg gak punya softskill sama sekali. gaptek. datang kekantor kerjanya cm bergosip, ketawa ketiwi. dr pagi ampek sore mrk2 ni cm ngendon dikantor, tp gak ada hal berarti yg dibuat. istilahnya ...mrk cm mkn gaji buta. kerjaan yg bsa dikasih kemereka pun utamanya kerjaan kuli. angkat2 kursi/meja, bakar sampah, ngangkat kotak suara, dll. hehe... resiko org gak punya softskill. rentang usia kebanyakan diatas 40th. gak punya idealisme, gak punya cita2. hanya berharap gaji dr negara. that's it.

2. PNS Waisha. pns yg punya skill tp gak punya idealisme buat majuin institusinya. akhirnya mereka dgn skill yg dimilikinya nyari can sampingan diluar. mereka mengaktualisasikan diri diluar. pns kyk gini ni uda pesimis dgn dunia birokrasi. drpd tercemari oleh sistem yg rusak parah, mending ngembangin diri diluar aja. buka lembaga kursus, jual-beli mobil, n buka usaha apa aja yg penting halal. gaji dpt, can diluar jg dapat. pns waisha ini ada karena skill mereka gak dianggap sm org2 kantor. skill mrk dikerdilkan, dibonsai. akhirnya mereka berontak. ngapain masuk kantor, toh gak ada hal berarti yg diperbuat. mending nyarek can diluar... pns waisha ini punya skill mumpuni, tp sygnya tak diberdayagunakan oleh kantor. jgn salahkan mereka akhirnya seperti itu. soalnya rasa pesimis uda sampek ubun2. ^^ 

3. PNS ksatria. punya skill n punya idealisme buat majuin institusinya. didominasi oleh pegawai usia muda dgn emosi yg masih labil. pns ksatria punya skill mumpuni, melek teknologi n punya emosi berapi-api. mereka2 ini maunya serba cepat. gak bsa kerja dgn pns2 tua yg kerjanya lambat n gak sistematis. mereka berontak dgn sistem yg ada. mencoba merubah sistem. tanpa disadari, emosi mereka yg masih labil itu kadang berdampak negatif bagi diri merek sendiri. cenderung dimusuhi n dijauhi oleh pns2 sudra. it's okay, gak ada untungnya jg 1 komunitas dgn pns sudra. begitu ego mereka berbicara. huehehehe..... 

4. PNS brahmana. pns level tertinggi. pns yg bisa bijak ketika berada pd lingkungan n sistem yg rusak. mereka2 ini berada pd rentang umur 30-40 tahun dgn emosi yg relatif stabil. mereka punya skill, punya idealisme, n yang lebih penting bsa merangkul semua pihak. mereka ini tergolong org2 cerdas. IQ n EQ nya tinggi banget. org2 kyk gini ini yg bakalan jd pemimpin dimasa depan. sygnya sedikit sekali menemui PNS brahmana. hukum alam lah... yg baik itu emang sulit didapatkan. huehehehe.... ^^

Senin, 18 April 2011

SEKEDAR CATATAN ATAS 'DRAMA' BOM UTAN KAYU

Bnyk status di facebook hari ini yg intinya bernada menghujat kaum ekstrimis Islam seakan-akan merekalah pelaku bom Utan Kayu kemarin. What the F*ck??? Grow up dude....

Sy bukan memihak mereka. Sy bukan membela mereka. Sy hanya mengajak untuk berpikir “sedikit” jernih sj.  Emang uda ada bukti kuat klo bom kemarin hasil perbuatan klompok radikal Islam?? ingat bro, bom slalu muncul ktika citra pemerintah sdang terpuruk. misdirection of issue... dan celakanya org Indo sgt mudah digiring oleh opini, BUKAN fakta. Becareful bro, jgn mau digiring sm opini. Karena kita bukan emak2 yg hobi nonton sinetron melankolis.

Lihat “drama alay” kemaren, gmn sluruh dunia menyaksikan betapa TOLOL nya polisi Indonesia. Berkerumun Ngutak ngutik bom gak pake pelindung sm skali. Amatir bgt. Bikin malu koprs Polisi RI! Akhirnya meledak, tangan putus, ada darah, org merintih kesakitan. Penonton drmh pun iba, kemudian mengutuk teroris yg langsung diopinikan sbg org2 berjanggut kyk ustad Abu Bakar Ba’asyir. haha.... sutradara nya sukses besar. Tertawa terbahak-bahak melihat betapa mudahnya org Indon digiring sandiwara murahan.  ;)

Akhirnya uda bsa ditebak kok. densus 88 tampil sbg pahlawan. Menggerebek sarang teroris yg penuh dgn org berjanggut, pake gamis n bnyk ditemukan buku2 tentang jihad. Ujung2nya rakyat terima kasih dgn pemerintah karena uda bsa nangkap teroris. Ah... drama melankolis murahan!!

Perasaan empati dan emosi seringkali mengalahkan ruang berpikir logika. masih ingat, Betapa seluruh dunia digiring untuk mempercayai klo runtuhnya WTC itu karena ditabrak pesawat?? Runtuhnya rapi, bergerak vertikal tegak lurus kebawah. Hehe... silahkan tanya sndiri sm sarjana2 arsitek ato teknik sipil. Berapa probabilitas sebuah gedung tinggi yg ditabrak atasnya bsa runtuh rapi kebawah. Sayang, cm segelintir org yg mencari tahu hal ini. Mayoritas langsung percaya bgitu sj klo itu hasil perbuatan osama bin laden, mantan partner bisnis minyak george w. Bush.  J

Kita seringkali membuat kesimpulan tanpa berdasar fakta empiris. Kenapa?? Karena Kita produk yg dulunya di brain storming dengan sandiwara2 murahan macam saur sepuh, bramakumbara, dendam nyipelet, tersanjung, cinta fitri1-100, dll... tapa disadari sandiwara itu melemahkan sendi berpikir logis kita. Sandiwara2 itu menyederhanakan arti hidup didunia ini. Ada sosok baik sekali bak malaikat (protagonis) yg selalu teraniaya, ada sosok setan iblis terlaknat (antagonis) yg akan kalah diakhir acara. Udah, that’s it. Tipe org dlm sandiwara murahan itu cm ada 2, org baik dan org jahat. Tanpa mau tahu klo bnyk org skrng hidup diranah abu2. Tanpa mau tahu knp org jd baik. Tanpa mau tahu knp org jd jadi jahat. Tanpa mau menelusuri proses jd baik atau jd jahat. Phhffff....  ^^

Ah, intinya saya cm berharap klo kita bisa berpikir jernih sedikit saja. Jgn keburu nge-judge si ini salah, si itu baik. Opini sgt mudah buat org kepeleset. Akhirnya yg palsu dianggap sebagai sebuah fakta. Hollywood adalah pakar dlm hal ini. Betapa film Rambo akhirnya bsa menutupi fakta sebenarnya. Bagaimana dlm film, seorang rambo (diperankan oleh Sylvester Stallone) bisa mengalahkan ribuan tentara viet kong dgn mudahnya. Seakan-akan tentara vietkong itu adalah kumpulan keledai dungu yg memang disajikan sbg sasaran tembak sang Rambo. Ketika masih di SD dulu, sy mengidolakan rambo. Dan sy percaya, banyak rekan dan handai taulan yg jg mengidolakan Rambo. Namun, ketika sampai pada suatu masa, dimana sy tak lagi menonton doraemon, dragon ball, atau sinetron tersanjung. Masa ketika sy mulai Iqra’ dan akrab dgn bacaan yg mengulas fakta mcm tempo, forum, media dakwah, gatra, baru sy tersadar klo film RAMBO itu BIG FAT LIAR Alias PEMBOHONG BESAAARR!!

FAKTANYA, amrik kalah telak dlm perang vietnam. Tentara amrik yg msh tersisa pulang dgn langkah gontai, muka layu karena kalah perang, karena bnyk rekan mereka mati jd santapan tentara Viet Kong yg heroik. Ini FAKTA SEJARAH yg coba dikaburkan Amrik dgn film2nya. 
Berkaca dari masa lalu, Akankah kita skrng jg mengabaikan fakta?? Lalu percaya begitu sj dgn gosip dan opini murahan itu??? Dewasalah kawan... dunia tak sebesar daun kelor.  Seeing the world with Iqra’.


16 Maret 2011

FENOMENA LEBARAN BEDA, PATUTKAH DIPERDEBATKAN?


Untuk kesekian kalinya, umat Islam disuguhi fenomena seputar penentuan hari raya lebaran. Dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdhlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, masing-masing mengklaim tanggal yang berbeda. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsudin, di awal bulan Ramadhan telah menetapkan tanggal 12 oktober sebagai hari raya lebaran. Hal itu berdasarkan metode hisab hakiki wujudul hilal atau perhitungan terbitnya bulan muda, yang digunakan Muhammadiyah untuk menetapkan tanggal 1 Syawal.
Muhammadiyah memang selama ini selalu berpedoman dengan ilmu falak (astronomi) dalam membuat kalender Islam. Dengan ilmu falak itu pula kita dapat menghitung hari raya lebaran untuk seratus tahun kedepan, menentukan dengan pasti kapan komet Halley akan terlihat kembali, menentukan jam, menit dan detik terjadinya gerhana bulan, bahkan interval waktu terjadinya gerhana bulan pun dapat diprediksi. Pokoknya, dengan ilmu falak semua fenomena astronomi yang terjadi dapat diketahui jauh-jauh hari sebelumnya.
            Lain halnya dengan Nahdlatul Ulama (NU). Berpegang pada prinsip kehati-hatian, ormas Islam terbesar ini cenderung untuk mempertahankan tradisi zaman Nabi dengan melihat posisi bulan muda dengan mata telanjang (rukyatul hilal bil fikli), sebagai pedoman dalam menetapkan hari raya Lebaran.
            Masyarakat pun kembali dibuat bingung. Ikut yang mana, NU atau Muhammadiyah? Ormas manakah yang lebih baik? Tanggal 12 atau 13?
Sungguh sangat disayangkan jika obrolan yang muncul diwarung-warung kopi, dipasar atau dikampus sekalipun - yang notabene tempat berkumpulnya calon intelek masa depan, adalah pertanyaan-pertanyaan diatas.
NU dan Muhammadiyah bukanlah seteru. Metode konvensional dengan melihat langsung posisi bulan (hilal) atau dengan hitungan matematis, kedua-duanya diperbolehkan dalam Islam. Tidak ada metode yang paling benar, dan tidak ada Ormas yang lebih baik. Kedua Ormas (NU dan Muhammadiyah) dibentuk dengan kesadaran para pendirinya untuk membangun dan memajukan umat Islam di Indonesia. Masing-masing memiliki visi yang sama, hanya berbeda dalam misi dan implementasi.
Menyikapi hal itu, umat Islam hendaknya sadar dan segera melepaskan diri dari dikotomi NU vs Muhammadiyah. Perbedaan dalam memahami Islam sudah terjadi sejak jaman Khalifah sepeninggalnya Rasulullah. Umat terpecah kedalam beberapa golongan. Ada Syiah, Sunni, Khawaridj, dan lain sebagainya. Perpecahan umat itu sendiri sudah jauh hari diprediksi oleh Nabi, namun betapapun dalamnya perbedaan hendaknya tetap berpegang teguh pada satu prinsip yang sama, yaitu Tuhan Allah yang Esa, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, Al-Qur’an sebagai kitab pedoman dan Ka’bah sebagai kiblat. Keempat prinsip itulah yang tetap mempersatukan Islam hingga kapanpun.
Disadari memang saat ini umat Islam telah terbagi ke dalam beberapa golongan. Namun hendaknya umat dapat bersikap toleran terhadap perbedaan-perbedaan yang muncul, dikarenakan tidak ada satu golongan pun yang dapat mengklaim dirinya paling benar. Dengan adanya toleransi, konflik horizontal sesama umat Islam dapat dihindari.
Hal inilah yang hendaknya disadari umat Islam Indonesia dalam menyikapi fenomena perbedaan hari lebaran. Tetapi, jika umat telah sadar dan mengerti makna ‘perbedaan’ dalam Islam, lalu kenapa kebingungan tetap saja terjadi?
Masyarakat dapat diibaratkan sebagai ma’mum yang sudah tentu memerlukan seorang imam ketika sholat. Dalam konteks yang lebih luas, masyarakat juga memerlukan pemimpin yang dapat dijadikan panutan dalam bersikap dan bertindak. Celakanya, umat Islam di Indonesia tampaknya tidak mendapatkan ‘imam’ yang dapat dijadikan panutan. Pemerintah yang seharusnya dapat menjadi barometer justru ikut-ikutan pusing dengan adanya perbedaan penetapan hari lebaran. Karena itulah kemudian pemerintah berinisiatif untuk mempertemukan pimpinan kedua ormas, berkompromi agar dapat ‘menyeragamkan’ tanggal keramat tersebut. Hasilnya nihil. Masing-masing tetap pada pendiriannya.
Herannya, kok pemerintah seperti ngotot untuk menyeragamkan perbedaan? Bukankah inilah demokrasi yang kita inginkan, cerminan bahwa rakyat sudah mulai kritis, berani berbeda pendapat dengan yang lain. Kenapa harus diseragamkan? Rakyat sudah jenuh dengan keseragaman, karena selama masa orde baru kita sudah ‘seragam’ dalam segala hal, mulai dari ideologi, pilihan partai politik, hingga pada merk beras pun kita harus seragam, made in Vietnam. 
Integritas pemerintah kembali dipertanyakan, diuji dengan hal yang sebenarnya sepele. Jika dilihat dari perspektif demokrasi, perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri justru akan menjadi pembelajaran positif bagi perkembangan demokrasi, khususnya dalam komunitas umat Islam itu sendiri. Umat dituntut agar dapat mengembangkan sikap toleransi dengan sesama muslim yang memiliki pandangan berbeda.
Disinilah letak peran pemerintah sesungguhnya, bukan sebagai penyeragam perbedaan, namun sebagai pihak yang dapat mengajari rakyatnya untuk menghargai adanya perbedaan. 
            Oleh karena itu, masyarakat khususnya umat Islam rasanya tidak perlu memperdebatkan lagi perbedaan penetapan tanggal hari raya Idul Fitri tahun ini dan ditahun-tahun selanjutnya. Masih banyak persoalan bangsa yang lebih krusial ketimbang memperdebatkan hal ihwal peribadatan yang sebenarnya tidak terlalu prinsip.
Tingkat pengangguran dan kemiskinan yang tiap tahunnya meningkat, perbaikan sarana dan prasarana fasilitas pendidikan dan kesehatan, semua itu seharusnya mendapatkan porsi perhatian yang lebih besar dari tiap elemen masyarakat.
            Banyak persoalan bangsa yang belum terselesaikan dan mestinya menjadi prioritas bagi pemerintah.  Ketimbang mengurusi ‘tata cara’ hubungan vertikal dengan Sang Khalik – yang memang bukan bidangnya, lebih baik Pemerintah  fokus pada aspek horizontal, membangun sektor riil perekonomian rakyat, menepati janji-janji kampanye 2004 lalu yang belum terwujud hingga sekarang. 

25 Februari 2009

MENILAI ETIKA DAN OBJEKTIFITAS HASIL SURVEI

Hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) beberapa pekan lalu menempatkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono unggul dibanding dua pasangan calon lainnya. Jajak pendapat LSI digelar 25 - 30 Mei dengan melibatkan 2.999 responden dengan margin of error 1,8 persen. Hasilnya, 70 persen responden memilih pasangan SBY - Boediono. Sementara pasangan Megawati - Prabowo dipilih 18 persen dan pasangan Jusuf Kalla - Wiranto hanya dipilih 7 persen responden (www.tempointeraktif.com).
                Pasca pemberitaan hasil survei yang dilansir oleh LSI bahwa SBY-Boediono diprediksi menang satu putaran dalam pemilu presiden mendatang, berbagai pro dan kontra terhadap hasil survei itu pun muncul. Wajah cerah dan senyum penuh percaya diri terpancar dari para pendukung SBY Boediono. Sebaliknya bagi pendukung JK Wiranto dan Mega Prabowo itu bukan kabar yang baik. Bahkan ada tudingan LSI sebagai penyelenggara survei tidak berlaku independen. Artinya survei yang dilakukan berpihak dan menguntungkan salah satu pihak.
            Pertarungan pilpres 2009 memasuki babak baru. Antara yang pro dan kontra hasil survei pun beradu argumentasi. Di pentas diskusi dan ajang debat tak lepas dari topik bahasan ini. Di media cetak pun saling lempar opini. Bahkan di media elektronik atau televisi, acara debat dihadiri oleh masing-masing pihak yang pro dan kontra. Dan sebagaimana seperti debat lainnya, semuanya kukuh dengan pendapatnya masing-masing. Bagi yang tak berkepentingan langsung, tontonan seperti itu hanya bakal menambah pusing. Bagaimana seharusnya kita menyikapi polemik ini?

Fungsi dan aturan main lembaga survei
            Ada baiknya kita telaah dari awal mengenai fungsi dan aturan main dari sebuah lembaga riset politik. Survei adalah satu paket dengan demokrasi. Bagi Negara yang menganut sistem demokrasi atau sedang dalam transisi menuju demokrasi seperti Indonesia, maka survei menjadi kebutuhan primer bagi elit politik. Fungsi survei itu sendiri adalah untuk mewakili opini publik. Terlalu riskan jika politik dan demokrasi hanya dipercayakan kepada segelintir politisi, diombang-ambingkan untuk kepentingan mereka saja. Disinilah lembaga survei mengambil alih perannya untuk mewakili opini publik.
            Mengenai aturan mainnya, The World Association for Public Opinion Research (WAPOR) –sebuah lembaga internasional yang mengatur tentang riset politik, memiliki kode etik yang berjudul “WAPOR Code of Professional Ethics and Practices”. Kode etik ini antara lain mengatur bahwa laporan hasil akhir survei harus mencantumkan siapa yang membiayai, lembaga yang melaksanakan, tujuan survei, metode, termasuk teknik menentukan responden (sampel), jumlah sampel dan populasinya.
            Yang perlu digarisbawahi dalam aturan tersebut ialah bahwa lembaga survei wajib untuk menyebutkan siapa yang mendanai survei, sehingga publik bisa menilai apakah hasilnya independen atau tidak. Namun, sudah barang tentu di Indonesia tidak ada satupun lembaga survei yang bisa bersikap independen. Sebagai contoh, biaya survei untuk pemilihan presiden sangatlah besar, antara 500 juta sampai diatas 1 milyar. Sudah pasti tidak ada satu lembaga survei pun yang mampu atau mau membuang dana sebesar itu untuk sebuah survei independen. Di Indonesia, hal ini diperparah dengan banyaknya hasil survei yang dirilis tanpa menyebutkan siapa sang penyandang dana. Akibatnya muncul persepsi beragam dimasyarakat, pro dan kontra dalam menilai hasil survei, satu putaran versus dua putaran. Politik pun semakin bias, complicated.

Mencermati hasil survei LSI
            Ada beberapa hal yang perlu dicermati pada hasil survei yang dirilis oleh LSI. Pertama, menyangkut penggalangan opini, atau dalam dunia politik populer disebut dengan bandwagon effect. Apakah ini cara Partai Demokrat dan tim sukses SBY untuk membentuk opini masyarakat bahwa seolah-olah SBY akan menang telak? Dengan hasil survei yang memenangkan pasangan SBY Boediono, maka mengkondisikan seakan-akan SBY Boediono sudah pasti memenangi pilpres. Bagi pemilih yang masih ragu-ragu atau belum mempunyai pilihan ditargetkan akan ikut memilih SBY Boediono. Secara psikologis ada kondisi dimana setiap individu ingin masuk dalam barisan pemenang. Buat apa memilih calon presiden yang tidak bakal menang?
            Bagi masyarakat terdidik dan kritis, bandwagon effect atau penggalangan opini relatif tidak berpengaruh. Golongan masyarakat ini terkonsentrasi di perkotaan dan lingkungan terdidik lainnya. Jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan golongan masyarakat awam. Sehingga kemungkinan keberhasilan penggalangan opini melalui hasil survei cukup besar. Meskipun ini ditampik oleh penyelenggara survei atau pihak yang diuntungkan oleh hasil survei LSI tadi, dikarenakan menurut mereka tidak ada relevansi yang menunjukkan kemenangan sebuah pemilu hanya karena hasil survei. Konon bandwagon effect pernah terjadi di pemilu Amerika Serikat pada tahun 1980 saat Ronald Reagan memenangi pemilu. Ketika itu, jaringan Televisi NBC telah mengumumkan kemenangan Reagan dari hasil exit poll (survei terhadap orang yang baru saja memilih) di wilayah timur Amerika. Padahal di wilayah barat karena perbedaan waktu, pemilihan baru saja dimulai. Akhirnya orang-orang di wilayah barat pun banyak yang memilih Ronald Reagan.
            Kedua, hasil survei LSI tadi malah dapat menjadi boomerang bagi SBY, menciptakan underdog effect, yang justru membuat sang Goliath kalah. Arogansi dan optimisme berlebihan dari pihak yang merasa telah menang terkadang dapat menyebabkan sang rival yang menuai hasilnya. Apalagi ditengah masyarakat yang dramatik melankolistik seperti di Indonesia. SBY sendiri di pilpres tahun 2004 lalu disadari atau tidak juga kecipratan untung dari underdog effect ini. SBY ketika itu seakan-akan menjadi pihak yang dizolimi oleh pemerintahan Megawati. Dihina sebagai jenderal yang kekanak-kanakan, untuk kemudian “dikeluarkan” dari kabinet. Tak dinyana, dua hal itu turut andil dalam membentuk citra positif SBY.
            Ketiga dengan alasan penghematan anggaran, hasil survei LSI ini kemudian dijadikan dasar bagi sebagian elit politik yang pro SBY-Boediono untuk melakukan gerakan pilpres satu putaran. Sungguh suatu argumen yang lemah, naif dan bertendensi membodohi rakyat. Bagaimana tidak? Nominal 4 triliun yang dianggarkan untuk pilpres putaran kedua masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan besaran dana yang telah dikeluarkan untuk pelaksanaan “pesta demokrasi” dari awal masa reformasi. Pemilihan kepala desa, bupati, legislatif, gubernur dan pilpres tahun 2004 lalu tentu memerlukan dana yang tidak sedikit. Walaupun tingkat elektoral dan partisipasi masyarakat rendah, kesemua “pesta pora” itu tetap diadakan tanpa peduli meski harus berhutang sana-sini. Tiba-tiba wacana menghemat anggaran muncul di pilpres 2009. Menggelikan sekaligus menyedihkan.   

Memberitakan survei
            Bagaimana seharusnya media massa memberitakan survei? Article 19 (Article Nineteen) –organsiasi anti penyensoran yang berkantor di London, Inggris membuat pedoman bagaimana secara teknis media seharusnya menulis jajak pendapat. Article 19 mendorong dalam pemberitaan jajak pendapat, media harus berupaya memberi laporan secara adil dan terutama menulis informasi apa saja tentang jajak pendapat tersebut agar publik memahami pentingnya atau kepentingan di balik jajak pendapat tersebut.
            Stasiun televisi berita BBC di Inggris dalam memberitakan hasil survei selalu mengingatkan kepada para pemirsa dan pendengarnya bahwa survei adalah gambaran selama jangka waktu pengambilan data di lapangan, bukan merupakan prediksi di saat hari pemilihan. Barrack Obama ketika menjadi kandidat capres juga menyewa Gallup –sebuah lembaga survei ternama di Amerika, namun hasilnya tidak pernah menjadi konsumsi publik.
            Di negeri ini mungkin sudah saatnya bagi lembaga survei untuk tidak lagi mempublikasikan hasil survei mereka keranah publik. Sebagai sebuah think tank yang diisi oleh kalangan intelek dan berorientasi profit, wajar jika lembaga-lembaga riset politik seperti LSI, LP3ES, LRI, PUSDEHAM, LSN, Indo Barometer dan sebagainya menerima pesanan survei untuk politisi atau partai politik. Hal itu tak mengapa sepanjang hasil survei bukan untuk dipublikasikan, namun hanya digunakan untuk menyusun rencana strategi pemenangan pemilihan. Lagipula, kredibilitas sebuah lembaga survei dapat terjaga tanpa harus beriklan atau merilis hasil surveinya di media massa bukan?


30 Juni 2009